Sponsor Link

Tuesday, October 6, 2015

Mistery Gunung Pesagi Sejarah Aksara Kaganga dan Sang Bumi Ruwa Jurai

Kepulauan Sumatera pernah didatangi bangsa Yunan dari daratan Indo-Cina pada abad Sebelum Masehi. Bangsa ini sebelum datang secara besar-besaran, mereka masuk Nusantara dengan kelompok-kelomp­ok kecil.
Mereka membawa berbagai kebudayaan antara lain falsafah/­ajaran Buddha dan aksara/tulisan kaganga. Khusus di Lampung sekarang dikenal dengan tulisan Lampung karena pada zaman modern ini Lampunglah yang lebih dulu mengangkat aksara kaganga tersebut. Adapun daerah Lampung dahulu merupakan kesatuan dengan daerah pusat Kerajaan Saka di sebelah selatan Bukit Barisan dalam wilayah Sumatera bagian selatan, yaitu Kerajaan Aji Sai dekat Danau Ranau, Lampung Barat sekarang. Di Sumatera bagian selatan, khususnya di Sumatera Selatan, aksara kaganga dikenal dengan nama tulisan ulu dalam wilayah pedalaman Batanghari Sembilan di Jambi, dikenal dengan nama tulisan encong, di Aceh dengan tulisan rencong, di Sumatera Utara/Batak dengan tulisan pustaha/­tapanuli.


Di wilayah kepulauan nusantara ini yang memakai tulisan kaganga hanya di Pulau Sumatera dan Sulawesi (ada 22 wilayah) dan di luar wilayah tersebut memakai tulisan/aksara pallawa/­hanacaraka yang berasal dari India sesudah masuk abad Masehi bersama dengan ajaran/­falsafah Hindu, yang kemudian hari berkembang di Pulau Nusa Kendeng/Pulau Jawa sekarang dan Bali. Di pusat Kerajaan Saka/Aji Sai, raja-rajanya adalah titisan penjelmaan Naga Sakti/Nabi Khaidir a.s., dalam rangka mengemban tugas Tuhan Yang Maha Esa dengan menurunkan hukum inti Ketuhanan (falsafah Jaya Sempurna) sepanjang zaman. Jadi masuknya bangsa Yunan terjadi beberapa tahap yang jaraknya berabad-abad serta membaur dengan penduduk asli Nusantara (yaitu Kerajaan Saka/Aji Sai) yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sriwijaya kecil di wilayah pedalaman Bukit Barisan sebelah barat, yaitu Bukit Raja Mahendra (Raj(Raje Bendare). Di Pagar Alam Lahat, tepatnya di antara perbatasan 3 provinsi; Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu lokasi tersebut sampai saat ini belum terungkap dan masih merupakan misteri bagi bangsa Indonesia. Untuk mengungkapnya perlu dipelajari tulisannya, yaitu kaganga atau pallawa (hanacaraka).




Asal Nama Sumatera
Dalam catatan sejarah yang ada hingga saat ini, Pulau Sumatera ini ditemukan Angkatan Laut Kerajaan Rau (Rao) di India yang bernama Sri Nuruddin Arya Passatan tahun 10 Saka/88 Masehi yang tercantum dalam Surat Peninggalan pada Bilah Bambu tahun 50 Saka/128 M yang ditandatangani Ariya Saka Sepadi, bukan Sri Nuruddin Angkatan Pertama yang datang dari Kerajaan Rao di India.
Karena tidak ada kabar beritanya angkatan pertama, dikirim angkatan kedua yang dipimpin langsung Putra Mahkota Kerajaan Rao di India Y.M. Sri Mapuli Dewa Atung Bungsu tahun 101 Saka/179 Masehi. Dengan 7 armada (kapal), mereka berlabuh di daratan Sumatera tepatnya di Pulau Seguntang atau Bukit Seguntang sekarang di Palembang, Y.M. Sri Mapuli Atung Bungsu memerintahkan Arya Tabing, nakhoda kepal penjalang untuk mendirikan pondokan dan menera (menimbang) semua sungai yang berada di wilayah Pulau Seguntang tersebut. Demi mengikuti amanat Ayahanda Kerajaan Rao di India, berganti-ganti air sungai ditera (ditimbang) Arya Tabing atas titah Y.M. Sri Mapuli Dewa Atung Bungsu, sebelum Arya Tabing menimbang semua air sungai, beliau bertanya kepada YM, sungai mana yang harus ditera (ditimbang), dijawab YM, semua Tera (yang maksudnya semua air sungai yang ada ditimbang).


Dari kata-kata beliau itulah asal nama Sumatera hingga saat ini yang tercatat dalam surat lempengan emas tahun 10 Saka/88 Masehi serta surat dari bilah bambu pada tahun 101 Saka/179 Masehi yang sampai saat ini belum ditemukan bangsa Indonesia, dan berkemungkinan sekali bertuliskan/­aksara kaganga atau pallawa/­hanacaraka di wilayah Sumetera bagian selatan.
Setelah ditimbang angkatan Arya Tabing, didapatlah air sungai/Ayik Besemah dari dataran tinggi Bukitraja Mahendra Mahendra (Bukit Raje Bendare) mengalir ke barat dan bermuara di Sungai Lematang wilayah Kota Pagar Alam (Lahat).
Puncak Gunung Pesagi sangat menakjubkan, ketinggian gunung ini mencapai 2.200 meter di atas permukaan laut. Keindahan dan keaslian alam di sekitar Gunung Pesagi masih terjaga, hal ini merupakan suatu daya tarik tersendiri. Dari puncak gunung ini, pengunjung dapat menikmati keindahan wilayah Lampung Barat, Danau Ranau, permukiman masyarakat OKU, laut lepas Krui, dan laut lepas Belimbing.
Puncak Pesagi memiliki jalur pendakian yang menantang. Di area yang dilewati terdapat berbagai tanaman yang menarik seperti jenis anggrek yang beraneka ragam dan aneka satwa liar mulai burung hingga binatang buas. Siapapun yang melintasi kawasan ini dilarang untuk mengambil dan memetik bunga-bunga, apalagi berburu binatang. Semua pengunjung harus menjaga lingkungan, tidak boleh membuang sampah sembarangan.


Konon, di puncak Pesagi terdapat tujuh sumur, yang satu di antaranya kadangkala mengeluarkan aroma seperti minyak wangi. Tidak semua orang bisa mendapatkan air dari sumur itu. Menurut warga, hanya pendaki yang "berniat bersih" yang bisa mendapatnya. Pendaki yang tidak ramah lingkungan atau tidak memiliki niat baik, tidak akan mendapat air dari sumur itu.
Puncak Pesagi terdapat di wilayah Pekon (desa) Hujung, Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat.
Mentari terik di atas kepalaku, tapi aku masih harus berjalan dua puluh kilo meter ke arah utara. Lewati bekas belukar, rimba, beberapa sungai dan bebukitan. Ada yang mengganjal sesak selama tujuh puluh purnama penuhi dada ini, dan sebentar lagi akan pecah terburai, setidaknya itu pikirku kala harus alihkan rasa rindu yang kian melilit dan menyimpul di nadiku.
Ya, kerinduan yang terperangkap dalam labirin ingatanku ini tak beberapa lama lagi akan kubuncah-ruah dengan secangkir kopi hangat bersama orangtuaku di beranda rumah panggung kami.
Sampailah aku pada dataran berpasir yang sering disebut pasiran. Kala aku kecil tempat ini cukup terkenal, sering dibicarakan orang dan banyak digilai laki-laki namun dibenci para istri. Di sini ada sebuah warung yang besar dan ditempati para pelacur. Yang tak kalah gemparnya atas kabar yang tersiar dari tempat ini, ketika suatu malam kawanan gajah dari hutan di sebelah timur mengobrak-abrik­ tempat ini hingga sporadis. Beberapa pelacur terluka.
Masyarakat di sekitar kami mempercayai bahwa gajah adalah penjaga semesta, dan bila dia sudah keluar dari hutan dan mengamuk berarti ada yang salah dengan perbuatan kami. Setelah tragedi itu para pelacur pergi entah kemana. Dan sejak itu tempat ini menjadi tempat yang ditakuti karena sering dijagai oleh kawanan gajah. Mentari meredup bersama gerimis yang lembut.
Sampailah aku di sebuah lembah, di sana ada beberapa orang yang sedang istirahat mengumpulkan tenaga untuk lewati tanjakan yang melingkari bukit di depan kami. Wajah-wajah mereka terlihat sayu dan pucat seperti mayat. Mungkin saja karena kelelahan, pikirku. “Mau naik juga, pak?” tanyaku untuk menyebut daerah di sekitarku pada salah satu orang dari mereka.


Tak ada sapa atau senyum segurat pun yang memberi isyarat jawaban pertanyaanku. Sepertinya mereka terlalu larut dalam kelelahan sehingga tak perlu sapa atau percakapan. Karena tdak ada respon dari mereka, aku berjalan mendekati parit kecil untuk meminum beberapa teguk air dari pancuran bambu yang ada di tepi lembah itu. Sebelum keringat habis kuputuskan untuk meneruskan perjalanan.
Baru seperempat dari jauhnya tanjakan itu aku sudah kelelahan dan menepi dari jalan untuk mengirup udara dalam beberapa tarik nafas. Orang-orang yang tadi kutinggal di lembah sudah dapat menyusulku. Mereka berjalan zig-zag pada bidang jalan yang lebarnya kira-kira empat kepas tangan orang dewasa untuk memotong keterjalanannya­ sambil mendendangkan lagu-lagu yang iramanya aneh!
Mereka mendahuluiku dan aku mengikuti mereka dari belakang. Langkah yang konstan dengan barisan zig-zag dan senandung lagu aneh bernuansa mistis melenyapkan rasa lelahku. Mencapai pertengahan tanjakan senandung tadi berganti tangisan lirih namun tak lepas dari telingaku, semakin lama kian dekat. Sambil tetap berjalan aku mengamati asal muasal tangisan itu.
Rupanya tangisan itu berawal dari orang yang berada di paling depan barisan dan diikuti oleh orang-orang di belakangnya sampai pada orang yang berada di depanku. Dalam hati aku bertanya apa yang mereka tangisi. Untuk bertanya pada orang di depanku tak mungkin karena mereka tetap berjalan dan dari lembah tadi mereka tidak saling sapa begitu pun kepadaku.
Suasana itu semakin membuatku ingin tahu apa yang membuat mereka menangis. Kuputuskan untuk mendekat dan bertanya dengan orang di depanku.
Baru saja aku mau mempercepat jalanku tiba-tiba aku teringat seorang kakek berdarah biru dari Kerajaan Kenali, kerajaan tertua di lampung yang pernah menceritakan asal mula dinamainya sebuah bukit yang sedang aku lalui ini.
Banyak sekali legenda yang diceritakan oleh kakek yang bernama Aul. Hampir setiap menjelang petang, kakek Aul selalu bertandang ke rumah kami dan biasanya dia menceritakan asal muasal nama tempat seperti bukit, gunung, lembah, dan danau. Salah satu cerita yang masih kuingat adalah nama bukit yang sedang kulalui ini. Bukit ini bernama Miwang.
Dalam bahasa lampung, miwang berarti tangis atau menangis. Nama itu diberikan pada bukit ini karena konon setiap orang yang melewati bukit ini selalu menangis oleh jalan yang terjal dan tanjakan yang sangat panjang. Ini kali pertama aku melihat langsung orang yang menangis melewati bukit ini.
Tadinya aku menganggap cerita kakek Aul hanya dongeng karena tak pernah ada orang menangis atau melihat orang menangis ketika melewati bukit ini. Anehnya masyarakat di sekitarku sepakat dengan nama itu. Kini cerita itu kulihat sendiri, seperti menegaskan bahwa cerita itu memang ada dan bukan dongeng.


Tangis itu belum berhenti dan kabut yang mulai turun semakin naik. Kami semakin masuk dalam kabut tebal yang menyerupai dinding-dinding­ kapas putih dingin dan lembut hingga jarak pandangku hanya beberapa langkah saja. Semakin lama berjalan hawa dingin semakin menyerangku, perlahan-lahan hingga langkahku mulai pelan dan aku sudah tidak dapat melihat orang-orang yang tadi di depanku.
Badanku semakin menggigil kedinginan dan kakiku sulit untuk dilangkahkan. Kabut bertambah tebal seolah dinding kapas putih yang dingin dan lembut itu tak pernah habis. Meski kulalui, dia semakin menyergapku, membalut, dan semakin erat melilitku hingga organ tubuhku sulit digerakkan!
Mataku membelalak tapi hanya bisa melihat putihnya kabut saja. Kurasakan tubuhku sudah membeku dan tiba-tiba pecah jadi tangis keras sekali hingga kabut yang menyelimutiku tadi berdenyar beberapa langkah dari tubuhku.
Namun, badanku tetap dingin seperti es dan tangisku melirih tapi tak sebutir pun air mata mengalir dari sudut muara mataku. Aku tetap menangis lirih dan saat kakiku mulai bisa kulangkahkan lagi, aku kembali berjalan. Suara tangis mereka ada di antara tangisku dan itu satu-satunya petunjuk arah jalanku. Tangis itu seperti menjadi awal dialog antar a kami untuk saling memberitahu jalan yang licin, berbatu, dan berlubang. Tangis telah menjadi bahasa baru bagiku untuk tetap meneruskan perjalanan pulang.
Langkahku semakin ringan dan mantap selesaikan tiap tapakan, dan tangis-tangis itu mulai menyayup dan hilang satu per satu. Dinding-dinding­ kabut telah habis dan kami sudah sampai di puncak Bukit Miwang. Ada perempatan di sana, sebagian mengambil arah timur dan sisanya ke barat.
Tak ada salam perpisahan di antara kami, namun mereka tetap menatap dingin ke arahku ketika sudah berada di belokan arah yang beda. Tatapan mereka seperti menandai yang bisa terciri dari tubuhku dan seolah berkata suatu saat nanti kita akan bertemu di tempat yang sama lagi.
Aku hanya tersenyum dan menjawab dalam hati: iya, kita akan bertemu lagi! Kemudian mereka berbalik teruskan perjalanannya. Aku tak mengikuti salah satu arah yang mereka ambil karena orangtuaku tinggal di arah utara dari aku berdiri sekarang. Aku terus berjalan menuruni sisi Bukit Miwang ke arah utara, melewati danau kecil di lembahnya yang airnya jernih dan ditumbuhi genjer, kangkung liar, enceng gondok, semanggi dan teratai yang sedang berbunga berwarna jingga di tengah danau.


Beberapa katak dan ikan kecil bermain membuat gelombang pada airnya. Aku teringat kembali orang-orang asing yang tadi melewati Bukit Miwang bersamaku. Seingatku tidak ada perkampungan atau Talang di dua arah yang mereka tuju. Jalan yang mereka lalui tadi hanya jalan untuk mencari rotan atau berburu saja.
Mereka tadi tak seperti pencari rotan. Baju yang dipakai tipis, pasti robek jika tersangkut duri rotan. Dan mereka tidak membawa parang yang panjang dan tajam, hanya badik yang diselipkan di pinggang mereka. Jika mau berburu, itu tidak mungkin lagi karena tidak ada anjing bersama mereka, tidak ada tombak, siding atau lafon.
Bukankah sebelah barat Bukit Miwang adalah belantara yang belum terambah bernama Mabhu? Mereka pasti tidak akan bisa kembali tanpa peralatan senjata yang cukup untuk membela diri. Binatang-binata­ng di sana sangat banyak dan buas-buas.
Sedangkan yang ke arah timur tadi akan tersesat karena mereka menuju Gunung Pesagi, gunung yang terkenal angker di daerah kami. Pohon-pohon dan lumut-lumut di sana mengacaukan arah. Mereka hanya akan berputar-putar mengelilingi tempat yang sama kemudian kelelahan, kehabisan bekal, terus mati kelaparan dan jadi hantu penunggu gunung itu.
Kecuali dia bertemu salah satu juru kunci yang ditugaskan oleh Kerajaan Kenali untuk menjaga empat penjuru lerengnya. Mereka akan selamat, karena petunjuk-petunj­uknya dapat menangkal bahaya dan mengurai misteri Gunung Pesagi.
Tapi sangat sulit untuk bertemu salah satu penjuru kunci karena dia berpindah-pinda­h dan terlalu lama hidup di hutan. Kata kakek Aul, mereka sudah sulit dibedakan dengan binatang: kadang menyerupai babi, kijang, lutung bahkan dapat menjelma pepohonan.
Hanya orang yang berniat baik dan tak memikirkan diri sendiri yang dapat bertemu dengan juru kunci dan selamat memasuki Gunung Pesagi. Tak terasa aku sudah hampir sampai rumah. Tinggal beberapa langkah lagi kakiku sudah berdiri di dalam areal tanah perkebunan kopi orangtuaku yang ditanami andong merah sebagai tanda pembatasnya. Rumahku berada di tengah perkebunan, dengan jalan masuk selebar dua kepas. Aku tidak lewat jalan masuk tapi menyusup di antara pohon kopi berharap kedatanganku jadi kejutan.


Rumahku sudah terlihat. Aku semakin mengendap-endap­ memperhatikan beranda pada rumah panggungku, tempat kami biasa melepas lelah dan bercerita dengan secangkir kopi. Langit berwarna lembayung tapi mataku masih mampu melihat bapak dan ibuku bercakap di beranda. Mereka belum melihatku melainkan melihat pucuk pohon randu di sampingku; ada yang ditatap ibu khusuk di situ.
Kudekati pohon itu dan kugoyang-goyang­kan hingga beberapa buahnya jatuh tapi ibu tetap tak berkedip sedikit pun, sedang bapak masih menggali nikmat dari tembakau yang dilinting dengan daun nipah dan sekali-sekali mengaliri tenggorokannya dengan beberapa teguk kopi. Kugoyangkan lagi pohon randu itu. Ada seekor burung yang terbang dan kemudian kembali pada dahannya dan berkicau keras berulang-ulang.
Ibuku berdiri sambil berkata, “Pak, anak kita pulang!” “Mana?” Jawab bapak, sambil melihat ke arah halaman rumah. “Itu, di pucuk pohon randu, bukan di halaman.” “Mana, tidak ada! Yang ada hanya burung kedasih yang sedang berkicau.”
Ibu tiba-tiba menangis keras menelan kicau burung kedasih sambil berkata terpatah-patah.­ “Meski aku tak melihatmu, aku tahu kamu pulang, anakku! Setiap sela nafasku, aku selalu meminta nabi Nuh mencarimu dan membawamu pulang bersama perahunya.”
Bapak berteriak lantang sampai gemanya menyeruak kesunyian bukit dan lembah-lembah. “Bapak apa aku ini...yang tidak bisa lagi mengetahui kabar dari bahasa semesta ini.”
Bapak sujud sambil tersedu. "Pohon randu, pohon randu Telah kutrima kabar dari dahanmu Kedasih, kedasih Rindu itu telah sampai dari kicaumu"

Lumba Lumba Teluk Kiluan Provinsi Lampung


Teluk Kiluan adalah sebuah tempat wisata yang terletak di Desa Kiluan Negeri, Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus, Lampung Selatan, Sumatera atau berjarak sekitar 80 kilometer dari pusat kota Bandar Lampung. Tempat ini merupakan tempat migrasi bagi sekumpulan ikan lumba-lumba jenis mulut botol.


 

Sejarah

Mengenai sejarah atau asal-usul kiluan. Sebetulnya banyak legenda yang bercerita tentang Kiluan, tapi ada satu legenda yang sampai sekarang masih beredar dan dipercaya oleh Masyarakat sekitar. Legenda berawal saat era mulai runtuhnya Kerajaan Majapahit dan Islam masuk Indonesia. Di kawasan yang awalnya Umbul atau perlambangan masyarakat Pekon Bawang, dikenal seorang pendatang yang sangat tinggi kesaktiannya. Dia bernama Raden Mas Arya yang berasal dari daerah Banten atau Malaka. Raden Anta Wijaya sangat dikenal Pemberani. Namun, banyak kerabatnya yang tidak senang kepada dia dan berusaha untuk membunuhnya.
Karena itu, akhirnya Raden Anta Wijaya meminta kerabatnya yang ingin membunuh dirinya tersebut agar membawanya ke Pulau yang saat ini bernama Pulau Kiluan. Sebab, dia hanya bisa dibunuh di Pulau itu, selanjutnya Raden Anta Wijaya dibunuh di Pulau tersebut. Karena kesaktiannya yang belum terkalahkan, dia bisa tahu kapan ajalnya akan tiba.

Konon, kumpulan Lumba-Lumba di Teluk Kiluan adalah yang terbesar di Asia. Bahkan, di Dunia. Wisatawan yang berminat menyaksikan dari dekat Lumba-Lumba di Habitat aslinya bisa menyewa Perahu Katir. Jika beruntung, Wisatawan juga bisa menyaksikan Penyu Hijau, yang di waktu-waktu naik ke permukaan Laut. Belum puas menikmati alam pemandangan di Teluk Kiluan, pengunjung bisa menginap di sana. Hanya, kondisi penginapan memang belum terlalu bagus.
Di Pulau ini anda dapat melihat kumpulan Lumba-Lumba yang jumlahnya ratusan ekor. Setidaknya ada dua jenis Lumba-Lumba di perairan ini, spesies pertama adalah Lumba-Lumba Hidung Botol (Tursiops Truncatus) dengan badan yang lebih besar dan pemalu. Spesies yang kedua adalah Lumba-Lumba Paruh Panjang (Stenella Longirostris) yang bertubuh lebih kecil dan senang melompat.

Selain itu Anda juga bisa keliling Pulau dengan Perahu Katir sambil menikmati pemandangan yang indah. Sore hari, Anda bisa melihat primata berbulu hitam dan bersuara nyaring saling bersahutan. Ya, siamang (symphalangus syndactylus) dan Simpai (Presbythis Melalops) serta Kukang (Nycticebus Coucang). kerap sekali terlihat meloncat dari satu pohon ke pohon lain. kicauan burung pun terdengar hampir di setiap pagi dan sore yang mampu menyejukkan pikiran. Jika beruntung, Wisatawan juga bisa menyaksikan Penyu Hijau (Chelonia Mydas) dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate), yang di waktu-waktu tertentu menepi ke Pantai.
Belum lagi jika Anda ke Kiluan pada saat Bulan Purnama. Wah…keindahan sang purnama bakal menimbulkan rasa takjub kepada Sang Maha Pencipta. Bagaimana tidak, cahaya Bulan jatuh di atas permukaan air Laut hingga membuat terang benderang. Keindahan alam ini bakal menjadi kenangan yang tak mudah dilupakan begitu saja




Teluk ini mempunyai pemandangan alam serta pantai yang cukup memukau. Hamparan pasir pantainya berwarna putih dan lembut. Cukup serasi dengan air lautnya yang berwarna biru jernih. Tidak jauh dari teluk ini terdapat satu obyek wisata lainnya yakni Pulau Kelapa atau disebut juga Pulau Kilauan. Pulau ini merupakan sebuah pulau kecil yang berada di tengah teluk.
Selain berenang maupun snorkeling, di teluk ini Anda juga bisa melihat atraksi dari sekumpulan ikan lumba-lumba. Atraksi dari sekumpulan ikan lumba-lumba ini biasanya bisa Anda lihat di pagi hari sekitar pukul 06.00 – 10.00 WIB. Namun untuk dapat menyaksikkan atraksi ini Anda terlebih dahulu harus menyewa perahu kecil atau Jukung.

Dengan perahu kecil atau Jukung tersebut Anda akan dibawa ke tengah laut dimana para lumba-lumba berkumpul. Biaya sewa setiap Jukung tersebut berkisar antara Rp 250.000,- hingga Rp 300.000,- dan setiap jukung dapat menampung hingga tiga orang penumpang. Waktu tempuhnya sekitar dua puluh lima menit perjalanan dari bibir pantai. Dari jarak dekat maka Anda bisa melihat sekumpulan ikan lumba-lumba yang berenang bahkan melompat di sisi perahu yang datang seolah-olah ingin menyambut kedatangan Anda.

 

Fasilitas

Teluk Kiluan memang belum dialiri listrik, kebanyakan penduduk setempat menggunakan genset untuk penerangan. Sinyal telepon genggam juga masih sulit didapatkan di tempat ini. Namun jangan khawatir karena di teluk ini disediakan beberapa tempat penginapan sederhana dan nyaman. Biaya sewa per kamarnya berkisar antara Rp 150.000,- hingga Rp 300.000,-. Untuk makan juga disediakan oleh penginapan tersebut namun akan ada biaya tambahan.
Menu yang disajikan biasanya hidangan khas Lampung yakni pepes ikan yang dimakan dengan sambal yang terbuat dari durian. Teluk ini rata-rata dihuni oleh masyarakat keturunan Bali karena dahulunya tempat ini merupakan desa transmigrasi dari Pulau Jawa serta Bali. Sehingga jangan heran bila selama perjalanan menuju ke tempat ini Anda akan disuguhi dengan beberapa pura yang ada.

 

Akses 

Teluk Kiluan berjarak sekitar 80 kilometer dari Bandar Lampung dan waktu tempuhnya sekitar tiga hingga empat jam perjalanan.
Rute yang bisa dilalui bila Anda dari Jakarta adalah :
Jakarta-Pelabuhan Merak-Pelabuhan Bakaheuni-Teluk Betung-Pasawaran-Kiluan. Kondisi jalan untuk menuju ke tempat ini memang cukup sulit dan menantang. Sebagian kondisi jalannya ada yang belum beraspal dan berlumpur. Jadi disarankan jangan menggunakan mobil sedan untuk menuju ke tempat ini.
Namun jangan khawatir karena medan perjalanan yang cukup berat akan terbayarkan bila Anda telah sampai di tempat tujuan. Waktu yang tepat untuk berkunjung ke tempat ini adalah sekitar bulan April hingga September dimana musim kemarau sedang berlangsung.


Matahari terbenam merupakan salah satu pemandangan yang menarik. Cahaya merah keemasan memberikan sensasi luar biasa, betapa indahnya panorama sunset, lebih indah lagi jika anda bisa menyaksikan matahari terbenam dari pantai di Teluk Kiluan Lampung. 

Teluk Kiluan Lampung menjadi salah satu tempat wisata terbanyak akan lumba-lumba di laut lepas di mana anda akan bisa melihat ribuan lumba-lumba di laut Teluk Kiluan Lampung.



Saturday, October 3, 2015

Alasan Harus Bangga Dengan Lampung

Menara Siger, Pintu Gerbang Provinsi Lampung

Jangan hanya begal yang kamu ketahui tentang Lampung, terlalu sempit jika kamu Cuma tahu segudang begal ada di Lampung. untuk itu, kamu harus tau beberapa fakta menarik tentang Provinsi Lampung.
Ribuan Lumba-Lumba ada di Lampung
Aktifitas Berwisata dengan Lumba-Lumba
Lumba_lumba Sedang Bermigrasi
Lampung menyimpan kekayaan fauna yang cukup mencengangkan, bagaimana tidak jika, Lampung sebagai pelintasan lumba-lumba terbesar di dunia,  yang terdapat di wilayah teluk kiluan. Kabar menyebutkan terdapat ratusan ribu lumba-lumba yang lalu lalang di pantai tersebut. Berita tersebut telah diunggah situs pemerintah Indonesia.travel serta berita seperti okezone, viva dan kompas .
Lampung Menjadi Rumah Gajah Sumatra dan Terbesar
Kelompok Gajah di Way Kambas
Harus diakui bahwa Way Kambas Sebagai tempat penangkaran Gajah terbesar di Dunia. Dengan diisi oleh spesies Gajah Sumatra.
Waduk Terbesar se-Asia Tenggara
Pemandangan Batu Tegi
Jarak Dari Kejauhan
Walau sekarang sudah tidak lagi menjadi waduk terbesar se-Asia tenggara yang pernah disebutkan oleh berita Vivanews pada peresmian beberapa dekade lalu. Batu Tegi tetap menjadi salah satu waduk terbesar yang dimiliki oleh Provinsi Lampung.

Laboratorium Alam Vulkanik terbesar di Dunia ada di Kepuluan Krakatau
Anak Gunung Krakatu, Kini Masuk Sebagai Kawasan Laboratorium Alam (Vulkanik)
Ilustrasi Letusan Gunung Krakatu
Letusan  krakatu menjadi peristiwa bersejarah yang sangat kelam, ratusan ribu orang tewas dan iklim bumi sempat berubah beberapa hari. namun, kini kepulauan krakatau menjadi salah satu tempat penelitian bagi ilmuan bumi.

Ombak Tanjung Setia Tertinggi dan Belum Banyak di Kenal
Aktifitas Peselancar
Aktifitas Peselancar
Seperti yang telah dilansir situs resmi pemerintah yaitu Indonesia.travel, ombak yang ada di Pantai Tanjung Setia menjadi ombak tertinggi di dunia dan terbaik untuk berselancar di dunia. Hal itu disurvey Menurut para peselancar dunia. Namun sayang tempat tersebut belum maksimal dalam pengelolaannya.

Potensi Penyokong Energi Geothermal Terbesar di Dunia ada di Lampung
Sorang Wanita Sedang Berwisata di Suoh, Sebagai Salah Satu Potensi Panas Bumi di Indonesia
Aktifitas Alam di Suoh
Walaupun tidak masuk posisi pertama atau kedua, Lampung memiliki potensi energi terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Barat dan Sumut. sedangkan Indonesia merupakan Negara yang mempunyai kekayaan energi Geothermal terbesar di dunia dan salah satunya berasal dari Lampung. tapi sayang belum maksimal dalam memanfaatkanya

High Class Coffe, Tidak Usah di Ragukan Lagi
Kopi siap panen
Ilustrasi hasil kopi
Sudah tidak diragukan lagi bahwa Lampung penghasil kopi Robusta dengan kualitas terbaik dan terbesar di dunia. Setiap tahun Lampung mendistribusikan 48.000 ton biji kopi.

Andalan Lada Dunia ada di Provinsi ini
Lada muda
Lada Hitam dan Lada Putih
Lada Hitam Lampung dan Lada Putih Bangka menjadi pemasok terbesar di dunia setelah Vietnam. Di era 80.an, Indonesia sebagai pemasok 80% kebutuhan lada dunia dan sebagian besar berasal dari Lampung.

Nyari Udang, Lampung itu Tempatnya
Hasil Olahan Udang

Lampung menjadi satu-satunya provinsi yang berhasil menyuplai kebutuhan udang nasional hingga 60% dari puluhan Provinsi.


Ketela Pohon Juga Bisa On The World
Tanaman Pohon ini Banyak kamu temui di Lampung
Kitela

nah, singkong juga masuk sebagai daftar ke unggulan Lampung loh, sejak tahun 2004 Indoensia menjadi penyuplai Singkong terbesar di dunia, seperti yang dikeluarkan FAO Global Cassava Market Study, Roma. daaan hasil singkong di dominasi dari Lampung


Gula yang Kamu Konsumsi itu bisa jadi dari Lampung
Asal Mu Asal Gula

Gula Pasir


Gula juga sebagai andalan hasil bumi Lampung dan rata-rata di kelola oleh perusahaan besar. Gula yang dihasilkan terbesar kedua di Indonesia setelah Jatim.


SENJATA TRADISIONAL MASYARAKAT LAMPUNG