Sekala
Beghak (biasa ditulis Skala Brak), adalah kawasan yang sampai kini dapat
disaksikan warisan peradabannya. Kawasan ini boleh dibilang kawasan
yang “sudah hidup” sejak masa pra-sejarah. Batu-batu menhir mensitus dan
tersebar di sejumlah titik di Lampung Barat. Bukti, ada tanda kehidupan
menyejarah.
Sebuah batu prasasti di Bunuk Tenuar, Liwa berangka tahun 966 Saka atau tahun 1074 Masehi, menunjukkan ada jejak Hindu di kawasan tersebut. Bahkan di tengah rimba ditemukan bekas parit dan jalan Zaman Hindu. Ada lagi disebut-sebut bahwa Kenali yang dikenal sekarang sebagai ibukota Kecamatan Belunguh, adalah bekas kerajaan bernama “Kendali” dengan “Raja Sapalananlinda” sebagaimana disebut dalam “Kitab Tiongkok Kuno”. Kata “Sapalananlinda” oleh L.C. Westenenk ditafsir sebagai berasal dari kata “Sribaginda” dalam pengucapan dan telinga orang Cina. Jadi bukan nama orang tapi gelar penyebutan. Buku itu konon juga menyebut, bahwa Kendali itu berada di antara Jawa dan Siam-Kamboja. Kitab itu, menyebut angka tahun antara 454 – 464 Masehi. Kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Inggris oleh Groenevelt (Wikipedia Indonesi, 2007).
Sebuah batu prasasti di Bunuk Tenuar, Liwa berangka tahun 966 Saka atau tahun 1074 Masehi, menunjukkan ada jejak Hindu di kawasan tersebut. Bahkan di tengah rimba ditemukan bekas parit dan jalan Zaman Hindu. Ada lagi disebut-sebut bahwa Kenali yang dikenal sekarang sebagai ibukota Kecamatan Belunguh, adalah bekas kerajaan bernama “Kendali” dengan “Raja Sapalananlinda” sebagaimana disebut dalam “Kitab Tiongkok Kuno”. Kata “Sapalananlinda” oleh L.C. Westenenk ditafsir sebagai berasal dari kata “Sribaginda” dalam pengucapan dan telinga orang Cina. Jadi bukan nama orang tapi gelar penyebutan. Buku itu konon juga menyebut, bahwa Kendali itu berada di antara Jawa dan Siam-Kamboja. Kitab itu, menyebut angka tahun antara 454 – 464 Masehi. Kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Inggris oleh Groenevelt (Wikipedia Indonesi, 2007).
Meski
belum seluruhnya terbaca, namun dapat disimpulkan: di situ tercatat
suatu peradaban panjang. Suatu kawasan tua yang mencatatkan diri dalam
sejarah umat manusia. Di wilayah ini pula pernah berdiri sebuah
kerajaan. Ada yang menyebut kerajaan tersebut adalah Kerajaan Tulang
Bawang, namun bukti-bukti keberadaannya sulit ditemukan. Sedang
keyakinan yang terus hidup dan dipertahankan masyarakat khususnya di
Lampung Barat serta keturunan mereka yang tersebar hingga seluruh
wilayah Sumatera Selatan, menyebutkan Kerajaan Skala Beghak. Pendapat
ini juga disokong oleh keberadaan para raja yang bergelar Sai Batin,
hingga bukti-bukti bangunan dan alat-alat kebesaran kerajaan, upacara
dan seni tradisi yang masih terjaga. Masih banyak bukti lain, namun
perlu pembahasan terpisah.
Kalau membaca peta Propinsi Lampung sekarang, kisaran lokasi pusat Sekala Beghak berada di hampir seluruh wilayah Kabupaten Lampung Barat, sebagian Kecamatan Banding Agung Kabupaten Ogan Komering Ulu, Propinsi Sumatera Selatan. “Pusat kerajaan” meliputi daerah pegunungan di lereng Gunung Pesagi di daerah Liwa, seputar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau dan Kecamatan Balik Bukit.
Kalau membaca peta Propinsi Lampung sekarang, kisaran lokasi pusat Sekala Beghak berada di hampir seluruh wilayah Kabupaten Lampung Barat, sebagian Kecamatan Banding Agung Kabupaten Ogan Komering Ulu, Propinsi Sumatera Selatan. “Pusat kerajaan” meliputi daerah pegunungan di lereng Gunung Pesagi di daerah Liwa, seputar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau dan Kecamatan Balik Bukit.
Sebagai
kesatuan politik Kerajaan Sekala Beghak telah berakhir. Tetapi, sebagai
kesatuan budaya (cultural based) keber¬adaannya turun temurun tewarisi
melalui sejarah panjang yang menggurat kuat dan terbaca makna-maknanya
hingga saat ini. Sekala Beghak dalam gelaran peta Tanah Lampung,
pastilah tertoreh warna tegas, termasuk sebaran pengaruh kebudayaannya
sampai saat ini.
Tata
kehidupan berbasis adat tradisi Sekala Beghak juga masih dipertahankan
dan dikembangkan. Terutama, Sekala Beghak setelah dalam pengaruh “Empat
Umpu” penyebar agama Islam dan lahirnya masyarakat adat Sai Batin. Adat
dan tradisi terus diacu dalam tata hidup keseharian masyarakat
pendukungnya dan dapat menjadi salah satu sumber inspirasi dan motivasi
pengembangan nilai budaya bangsa.
Hasil
pembacaan atas segala yang ada dalam masyarakat berkebudayaan Sai Batin
di Lampung, memperlihatkan kedudukan dan posisi penting Sekala Beghak
sebagai satuan peradaban yang lengkap dan terwariskan. Keberadaan Sekala
Beghak tampak sangat benderang dalam peta kebudayaan Sai Batin, sebagai
satu tiang sangga utama pembangun masyarakat Lampung. Bahkan, telah
diakui, Sekala Beghak sebagai cikal bakal atau asal muasal tertua
leluhur “orang Lampung”. Bahkan keberadaan Skala Beghak, berada dalam
kisaran waktu strategis perubahan peradaban besar di Nusantara, dari
Hindu ke Islam.
Bukti
kemashuran Sekala Beghak dirunut melalui penuturan lisan turun-temurun
dalam wewarah, tambo, dan dalung yang mempertegas keberadaan Lampung
dalam peta peradaban dan kebudayaan Nusantara. Kata Lampung itu sendiri
banyak yang menyebut berasal dari kata “anjak lampung” atau “yang
berasal dari ketinggian”. Pernyataan itu menunjukkan bahwa “orang
Lampung” berasal dari lereng gunung (tempat yang tinggi), yang dalam hal
ini Gunung Pesagi. Pendapat yang sama juga ditemukan dalam kronik
perjalanan I Tsing. Disebutkan kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing
(635-713). Seorang bhiksu yang berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti
Tang) ke India, dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming
dan beberapa waktu pernah tingal di Chang’an. Ia menerjemahkan kitab
agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina. Dalam
perjalanannya itu, kronik menulis I Tsing singgah di Sriwijaya pada
tahun 671. Ia mengunjungi pusat-pusat studi agama Budha di Sumatera, di
antaranya selama dua bulan di Jambi dan setelah itu konon tinggal selama
10 tahun di Sriwijaya (685-695). Dalam perjalanannya itu, I Tsing
dikabarkan menyebut nama suatu tempat dengan “To Lang Pohwang”. Kata “To
Lang Pohwang” merupakan bahasa Hokian, bahasa yang digunakan I Tsing.
Ada yang menerjemahkan “To Lang Pohwang” sebagai Tulang Bawang. Salah satunya adalah Prof. Hilman Hadikusuma, ahli hukum adat dan budayawan Lampung tersebut memberi uraian perihal sejarah Lampung, khususnya dalam menafsir To Lang Pohwang sebagai Kerajaan Tulang Bawang. Disebut-sebut berada di sekitar Menggala, ibukota Kabupaten Tulang Bawang saat ini. Meski bekas-bekas atau artefaknya belum terlacak, garis silsilah raja dan istana, komunitas masyarakat pewaris tradisi, dan banyak hal lagi yang masih tidak bisa ditemukan. Tidak hanya dari sudut pandang semantis untuk memaknai kata “To Lang Pohwang”, namun perlu pula didampingi kajian sosiologis dan arkeologis yang lebih mendalam.
Kata “To Lang Pohwang” berasal dari bahasa Hokian yang bermakna ‘orang atas’. Orang atas banyak diartikan, orang-orang yang berada atau tinggal di atas (lereng pegunungan, tempat yang tinggi). Dengan demikian penyebutan I Tsing “To Lang Pohwang” memiliki kesamaan makna dengan kata “anjak lampung”, sama-sama berarti orang yang berada atau tinggal di atas. Sedang atas yang dimaksud adalah Gunung Pesagi.
Merujuk pada dua pendapat itu, maka penunjukan “orang atas” mengarah pada Suku Tumi yang tinggal di lereng Gunung Pesagi di Lampung Barat. Mereka inilah cikal-bakal Kerajaan Sekala Beghak. Kerajaan ini di kemudian hari ditundukkan oleh para penakluk, mujahid dan pendakwah Islam yang masuk ke Sekala Beghak dari Samudera Pasai melalui Pagaruyung Sumatera Barat. Di bawah Ratu Mumelar Paksi bersama putranya Ratu Ngegalang Paksi, disertai juga para Umpu, empat cucu Ratu Mumelar Paski. Mereka masuk untuk kemudian menguasai kawasan tersebut setelah menundukkan Suku Tumi. Para Umpu, keempat putra Ratu Ngegalang Paksi itulah yang kemudian melahirkan Paksi Pak Sekala Beghak dengan segala kebudayaannya, berkembang dan beranak pinak untuk kemudian menyebar ke seluruh Lampung dan sejumlah daerah. Karena kerajaan Sekala Beghak lama (animisme/dinamisme) telah dikalahkan dan dikuasai sepenuhnya oleh keempat Umpu keturunan Ratu Ngegalang Paksi, maka kemudian adat-istiadat dan kebudayaan yang berkembang dan dipertahankan hingga kini merupakan peninggalan Kerajaan Sekala Beghak Islam.
Dalam tambo-tambo dan wewarah, “Empat Umpu” (Umpu Bejalan Diway; Umpu Belunguh; Umpu Nyekhupa, dan Umpu Pernong) banyak disebut memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat adat Sai Batin, Paksi Pak Sekala Beghak. Pada periode selanjutnya, penyebaran orang-orang Sekala Beghak ini dapat dirunut dari kisah-kisah tentang kepergian mereka melalui sungai-sungai. Bahkan, sebagian orang-orang Komering pun mengaku sebagai keturunan Sekala Beghak. Mereka diperkirakan keturunan Pasukan Margasana yang dikirim Kerajaan Sekala Beghak ke Komering untuk menghadang serangan sisa-sia prajurit Kerajaan Sriwijaya yang telah runtuh sebelumnya. Seperti halnya keberadaan Suku Ranau sekarang, diakui juga berasal dari Sekala Beghak, Lampung Barat. Di sekitar Danau Ranau di Banding Agung, Ogan Komering Ulu itu semula dihuni Suku Abung yang setelah kedatangan orang-orang Sekala Beghak pada abad ke-15 mereka pindah ke Lampung Tengah.
Ada yang menerjemahkan “To Lang Pohwang” sebagai Tulang Bawang. Salah satunya adalah Prof. Hilman Hadikusuma, ahli hukum adat dan budayawan Lampung tersebut memberi uraian perihal sejarah Lampung, khususnya dalam menafsir To Lang Pohwang sebagai Kerajaan Tulang Bawang. Disebut-sebut berada di sekitar Menggala, ibukota Kabupaten Tulang Bawang saat ini. Meski bekas-bekas atau artefaknya belum terlacak, garis silsilah raja dan istana, komunitas masyarakat pewaris tradisi, dan banyak hal lagi yang masih tidak bisa ditemukan. Tidak hanya dari sudut pandang semantis untuk memaknai kata “To Lang Pohwang”, namun perlu pula didampingi kajian sosiologis dan arkeologis yang lebih mendalam.
Kata “To Lang Pohwang” berasal dari bahasa Hokian yang bermakna ‘orang atas’. Orang atas banyak diartikan, orang-orang yang berada atau tinggal di atas (lereng pegunungan, tempat yang tinggi). Dengan demikian penyebutan I Tsing “To Lang Pohwang” memiliki kesamaan makna dengan kata “anjak lampung”, sama-sama berarti orang yang berada atau tinggal di atas. Sedang atas yang dimaksud adalah Gunung Pesagi.
Merujuk pada dua pendapat itu, maka penunjukan “orang atas” mengarah pada Suku Tumi yang tinggal di lereng Gunung Pesagi di Lampung Barat. Mereka inilah cikal-bakal Kerajaan Sekala Beghak. Kerajaan ini di kemudian hari ditundukkan oleh para penakluk, mujahid dan pendakwah Islam yang masuk ke Sekala Beghak dari Samudera Pasai melalui Pagaruyung Sumatera Barat. Di bawah Ratu Mumelar Paksi bersama putranya Ratu Ngegalang Paksi, disertai juga para Umpu, empat cucu Ratu Mumelar Paski. Mereka masuk untuk kemudian menguasai kawasan tersebut setelah menundukkan Suku Tumi. Para Umpu, keempat putra Ratu Ngegalang Paksi itulah yang kemudian melahirkan Paksi Pak Sekala Beghak dengan segala kebudayaannya, berkembang dan beranak pinak untuk kemudian menyebar ke seluruh Lampung dan sejumlah daerah. Karena kerajaan Sekala Beghak lama (animisme/dinamisme) telah dikalahkan dan dikuasai sepenuhnya oleh keempat Umpu keturunan Ratu Ngegalang Paksi, maka kemudian adat-istiadat dan kebudayaan yang berkembang dan dipertahankan hingga kini merupakan peninggalan Kerajaan Sekala Beghak Islam.
Dalam tambo-tambo dan wewarah, “Empat Umpu” (Umpu Bejalan Diway; Umpu Belunguh; Umpu Nyekhupa, dan Umpu Pernong) banyak disebut memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat adat Sai Batin, Paksi Pak Sekala Beghak. Pada periode selanjutnya, penyebaran orang-orang Sekala Beghak ini dapat dirunut dari kisah-kisah tentang kepergian mereka melalui sungai-sungai. Bahkan, sebagian orang-orang Komering pun mengaku sebagai keturunan Sekala Beghak. Mereka diperkirakan keturunan Pasukan Margasana yang dikirim Kerajaan Sekala Beghak ke Komering untuk menghadang serangan sisa-sia prajurit Kerajaan Sriwijaya yang telah runtuh sebelumnya. Seperti halnya keberadaan Suku Ranau sekarang, diakui juga berasal dari Sekala Beghak, Lampung Barat. Di sekitar Danau Ranau di Banding Agung, Ogan Komering Ulu itu semula dihuni Suku Abung yang setelah kedatangan orang-orang Sekala Beghak pada abad ke-15 mereka pindah ke Lampung Tengah.
Perjuangan dan usaha masyarakat Lampung
Baratuntuk menjadi kabupaten sebenarnya telah dimulai jauh sebelum tahun 1991.
Hal ini dapat kita cermati dari catatan-catatan penting baik yang ada pada
tokoh-tokoh masyarakat maupun yang ada pada pemerintah daerah tingkat II
Lampung Utara.
Perjuangan dimaksud dimulai pada bulan
januari 1967, dimana melalui Musyawarah Besar Keluarga Pemuda, Pelajar dan
Mahasiswa Lampung Baratse-Indonesia serta didukung oleh semua komponen
Masyarakat Lampung Baratyang diselenggarakan di Krui, terbentuklah Panitia
Nasional dan Panitia Eksekutif yang beralamat di JL Pramuka No 91 Krui.
Panitia nasional tersebut di ketuai oleh Safe’i A. Ronie S.H. dan Sekretarisnya Chotman Bin Jauhari dari unsur Keluarga
Pelajar dan Mahasiswa Lampung BaratYogyakarta. Sedangkan Panitia
Eksekutif di ketuai oleh A.
Munir Rozali dari Krui dan Sekretarisnya Adnan Hasan Kepala SMPN Krui, kepanitiaan tersebut terdiri dari
Pelindung dan Penasehat yang masing-masing Tjatur
Tunggal Lampung Barat sebagai pelindung A. Jahja Murod S.H. sebagai Penasehat.
Musyawarah Besar tersebut dilaksanakan
dari tanggal 01 s/d 06 Februari 1967 diKrui. Pada mubes tersebut dapat dijelaskan
bahwa ada 4 bidang utama yang dibahas antara lain :
v
Bidang Pertanahan
v
Bidang Pendidikan,
Kebudayaan, Agama dan Kesehatan
v
Bidang Sosial dan Ekonomi
v
Bidang Organisasi
Dengan telah selesainya Musyawarah Besar
pada tanggal 06 februari 1967, maka dihasilkan 9 Resolusi, sembilan resolusi
tersebut dirumuskan oleh Presedium Musyawarah Besar Pemuda, Pelajar dan
Mahasiswa serta masyarakat Lampung Baratyang berjumlah 9 orang dengan ketuanya Drs. K. Satia Nazori dan Sekretarisnya
adalah M. Wardi Sarbini.
Menanggapi resolusi tersebut, DPRD
Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Utara menyutujui untuk memberikan dukungan
moril dan minta perhatian Pemerintah Daerah Tingkat I Lampung terhadap Resolusi
Presedium Musyawarah nomor: 01/res/1967 yang menuntut diangkatnya Ex Kewedanan
Krui menjadi Daerah Tingkat II.
Dukungan DPRD Tingkat II Lampung Utara
tersebut berdasarkan Sidang Pleno ke 1 Tahun 1967 dalam rapat ke 2 tanggal 16
april 1967 dan ditandatangani oleh Ketua Dewan yaitu Syamsudin Wirapraja. Lebih lanjut rapat dijelaskan bahwa apa yang telah
diperjuangkan oleh KPM dan masyarakat Lampung Barattelah menjadi dasar
pertimbangan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lampung Utara sebagai sumbang
sarannya kepada Pemerintah Tingkat I Lampung.
Perkembangan selajutnya sebagaimana kita
ketahui bahwa tanggal 16 juli 1991 Rancangan Undang Undang Pembentukan
Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Baratmulai dibahas di DPR RI selama kurang
lebih satu setengah bulan, maka pada tanggal 20 juli 1991 rancangan
undang-undang tersebut dapat disetujui serta disusul dengan dikeluarkannya
Instruksi Mendagri Nomor 17 Tahun 1991 tentang Juklak Undang Undang Nomor 6
Tahun 1991 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Lampung Barat.
Sebelum lahirnya Kabupaten Daerah Tingkat
II Lampung Barat, berdasarkan undang-undang tersebut Lampung Baratmerupakan
pembantu bupati Lampung Utara wilayah Liwa yang beribu kota di Liwa. Dari tahun
1979 sampai dengan lahirnya Undang Undang Pembentukan Daerah Tingkat II Lampung
Baratperjuangan KPM dan Masyarakat Lampung Barattetap berlanjut tetapi tidak
lagi melalui rapat-rapat untuk mengeluarkan resolusi melainkan penekanannya
pada pendekatan person dan mengekspose potensi dan kondisi wilayah Lampung
Baratmelalui surat-surat dan media massa yang ditujukan kepada pejabat yang
berwenang untuk maksud tersebut.
Perjuangan dan usaha yang tidak mengenal
lelah tersebut menumbuhkan rasa simpati Ketua DPRD Tingkat I Lampung yaitu Hi. Ali Mudin Umar S.H. dan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat
I Lampung Pujono Pranyoto
untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat Lampung Baratdi tingkat
pusat. Hi. Ali Mudin Umar S.H. bersama-sama
partnernya Pujono Pranyoto adalah tokoh yang menjadi kunci
lahirnya Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Baratkarena lewat perjuangan
beliau berdua Pemerintah Pusat mempersiapkan Rancangan Undang Undang Tentang
Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Baratdan kepada jajaran beliau
kebawah dipacu untuk mempersiapkan semua persyaratan sarana dan prasaranan yang
diperlukan bagi terwujudnya Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat.
Persyaratan utama yang saat itu akan
menjadi kendala adalah pendanaannya maka untuk itu Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Lampung
menyatakan siap untuk membiayai Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung
Baratselama 3 tahun pertama sebagai modal pangkal bagi pertumbuhan dan
pembangunan Lampung Barat. Awal perputarannya roda pemerintahan Kabupaten
Daerah Tingkat II Lampung Baratdimulai dan ditandai dengan peresmian pada tanggal
24 september 1991 oleh Menteri Dalam Negeri Rudini bersamaan dengan itu pula dilantik Pejabat Bupati Kepala
Daerah Tingkat II Lampung Barat yang pertama yaitu Hakim
Saleh Umpu Singa
Bupati yang pertama ini memang belum
melalui pemilihan karena DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Baratbelum
terbentuk, namun peran fungsi dan wewenang serta kedudukannya tetap sama dengan
Kepala Daerah Tingkat II lainnya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Pada tanggal 16 februari 1992 Lembaga DPRD
antar waktu terbentuk dengan jumlah anggota 32 orang, jumlah ini berdasarkan
hasil pertimbangan suara yang diperoleh masing-masing kontestan pada Pemilu
1987. Sebagaimana amanat undang-undang Nomor 5 tahun 1974 Junto Permendagri
Nomor 10 Tahun 1974 DPRD dibebankan tugas untuk memilih Kepala Daerah yang
benar-benar merupakan pencerminan aspirasi masyarakat Lampung Barat, pemilihannya
dilaksanakan pada tanggal 6 Juni 1992 dalam sidang paripurna khusus DPRD
Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Baratdan hasilnya ternyata Letkol CHB Hakim
Saleh Umpu Singa masih dipercaya untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lampung
Baratselama masa bakti 1992-1997 dan dilantik pada tanggal 01 juli 1992 oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung atas nama Menteri Dalam Negeri.
No comments:
Post a Comment