Sponsor Link

Thursday, May 7, 2015

Asal Muasal Skala Brak dan Sejarah Lahirnya Lampung Barat

Sekala Beghak (biasa ditulis Skala Brak), adalah kawasan yang sampai kini dapat disaksikan warisan peradabannya. Kawasan ini boleh dibilang kawasan yang “sudah hidup” sejak masa pra-sejarah. Batu-batu menhir mensitus dan tersebar di sejumlah titik di Lampung Barat. Bukti, ada tanda kehidupan menyejarah.
Sebuah batu prasasti di Bunuk Tenuar, Liwa berangka tahun 966 Saka atau tahun 1074 Masehi, menunjukkan ada jejak Hindu di kawasan tersebut. Bahkan di tengah rimba ditemukan bekas parit dan jalan Zaman Hindu. Ada lagi disebut-sebut bahwa Kenali yang dikenal sekarang sebagai ibukota Kecamatan Belunguh, adalah bekas kerajaan bernama “Kendali” dengan “Raja Sapalananlinda” sebagaimana disebut dalam “Kitab Tiongkok Kuno”. Kata “Sapalananlinda” oleh L.C. Westenenk ditafsir sebagai berasal dari kata “Sribaginda” dalam pengucapan dan telinga orang Cina. Jadi bukan nama orang tapi gelar penyebutan. Buku itu konon juga menyebut, bahwa Kendali itu berada di antara Jawa dan Siam-Kamboja. Kitab itu, menyebut angka tahun antara 454 – 464 Masehi. Kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Inggris oleh Groenevelt (Wikipedia Indonesi, 2007).

Meski belum seluruhnya terbaca, namun dapat disimpulkan: di situ tercatat suatu peradaban panjang. Suatu kawasan tua yang mencatatkan diri dalam sejarah umat manusia. Di wilayah ini pula pernah berdiri sebuah kerajaan. Ada yang menyebut kerajaan tersebut adalah Kerajaan Tulang Bawang, namun bukti-bukti keberadaannya sulit ditemukan. Sedang keyakinan yang terus hidup dan dipertahankan masyarakat khususnya di Lampung Barat serta keturunan mereka yang tersebar hingga seluruh wilayah Sumatera Selatan, menyebutkan Kerajaan Skala Beghak. Pendapat ini juga disokong oleh keberadaan para raja yang bergelar Sai Batin, hingga bukti-bukti bangunan dan alat-alat kebesaran kerajaan, upacara dan seni tradisi yang masih terjaga. Masih banyak bukti lain, namun perlu pembahasan terpisah.
Kalau membaca peta Propinsi Lampung sekarang, kisaran lokasi pusat Sekala Beghak berada di hampir seluruh wilayah Kabupaten Lampung Barat, sebagian Kecamatan Banding Agung Kabupaten Ogan Komering Ulu, Propinsi Sumatera Selatan. “Pusat kerajaan” meliputi daerah pegunungan di lereng Gunung Pesagi di daerah Liwa, seputar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau dan Kecamatan Balik Bukit.

Sebagai kesatuan politik Kerajaan Sekala Beghak telah berakhir. Tetapi, sebagai kesatuan budaya (cultural based) keber¬adaannya turun temurun tewarisi melalui sejarah panjang yang menggurat kuat dan terbaca makna-maknanya hingga saat ini. Sekala Beghak dalam gelaran peta Tanah Lampung, pastilah tertoreh warna tegas, termasuk sebaran pengaruh kebudayaannya sampai saat ini.

Tata kehidupan berbasis adat tradisi Sekala Beghak juga masih dipertahankan dan dikembangkan. Terutama, Sekala Beghak setelah dalam pengaruh “Empat Umpu” penyebar agama Islam dan lahirnya masyarakat adat Sai Batin. Adat dan tradisi terus diacu dalam tata hidup keseharian masyarakat pendukungnya dan dapat menjadi salah satu sumber inspirasi dan motivasi pengembangan nilai budaya bangsa.

Hasil pembacaan atas segala yang ada dalam masyarakat berkebudayaan Sai Batin di Lampung, memperlihatkan kedudukan dan posisi penting Sekala Beghak sebagai satuan peradaban yang lengkap dan terwariskan. Keberadaan Sekala Beghak tampak sangat benderang dalam peta kebudayaan Sai Batin, sebagai satu tiang sangga utama pembangun masyarakat Lampung. Bahkan, telah diakui, Sekala Beghak sebagai cikal bakal atau asal muasal tertua leluhur “orang Lampung”. Bahkan keberadaan Skala Beghak, berada dalam kisaran waktu strategis perubahan peradaban besar di Nusantara, dari Hindu ke Islam.

Bukti kemashuran Sekala Beghak dirunut melalui penuturan lisan turun-temurun dalam wewarah, tambo, dan dalung yang mempertegas keberadaan Lampung dalam peta peradaban dan kebudayaan Nusantara. Kata Lampung itu sendiri banyak yang menyebut berasal dari kata “anjak lampung” atau “yang berasal dari ketinggian”. Pernyataan itu menunjukkan bahwa “orang Lampung” berasal dari lereng gunung (tempat yang tinggi), yang dalam hal ini Gunung Pesagi. Pendapat yang sama juga ditemukan dalam kronik perjalanan I Tsing. Disebutkan kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing (635-713). Seorang bhiksu yang berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India, dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tingal di Chang’an. Ia menerjemahkan kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina. Dalam perjalanannya itu, kronik menulis I Tsing singgah di Sriwijaya pada tahun 671. Ia mengunjungi pusat-pusat studi agama Budha di Sumatera, di antaranya selama dua bulan di Jambi dan setelah itu konon tinggal selama 10 tahun di Sriwijaya (685-695). Dalam perjalanannya itu, I Tsing dikabarkan menyebut nama suatu tempat dengan “To Lang Pohwang”. Kata “To Lang Pohwang” merupakan bahasa Hokian, bahasa yang digunakan I Tsing.
Ada yang menerjemahkan “To Lang Pohwang” sebagai Tulang Bawang. Salah satunya adalah Prof. Hilman Hadikusuma, ahli hukum adat dan budayawan Lampung tersebut memberi uraian perihal sejarah Lampung, khususnya dalam menafsir To Lang Pohwang sebagai Kerajaan Tulang Bawang. Disebut-sebut berada di sekitar Menggala, ibukota Kabupaten Tulang Bawang saat ini. Meski bekas-bekas atau artefaknya belum terlacak, garis silsilah raja dan istana, komunitas masyarakat pewaris tradisi, dan banyak hal lagi yang masih tidak bisa ditemukan. Tidak hanya dari sudut pandang semantis untuk memaknai kata “To Lang Pohwang”, namun perlu pula didampingi kajian sosiologis dan arkeologis yang lebih mendalam.
Kata “To Lang Pohwang” berasal dari bahasa Hokian yang bermakna ‘orang atas’. Orang atas banyak diartikan, orang-orang yang berada atau tinggal di atas (lereng pegunungan, tempat yang tinggi). Dengan demikian penyebutan I Tsing “To Lang Pohwang” memiliki kesamaan makna dengan kata “anjak lampung”, sama-sama berarti orang yang berada atau tinggal di atas. Sedang atas yang dimaksud adalah Gunung Pesagi.

Merujuk pada dua pendapat itu, maka penunjukan “orang atas” mengarah pada Suku Tumi yang tinggal di lereng Gunung Pesagi di Lampung Barat. Mereka inilah cikal-bakal Kerajaan Sekala Beghak. Kerajaan ini di kemudian hari ditundukkan oleh para penakluk, mujahid dan pendakwah Islam yang masuk ke Sekala Beghak dari Samudera Pasai melalui Pagaruyung Sumatera Barat. Di bawah Ratu Mumelar Paksi bersama putranya Ratu Ngegalang Paksi, disertai juga para Umpu, empat cucu Ratu Mumelar Paski. Mereka masuk untuk kemudian menguasai kawasan tersebut setelah menundukkan Suku Tumi. Para Umpu, keempat putra Ratu Ngegalang Paksi itulah yang kemudian melahirkan Paksi Pak Sekala Beghak dengan segala kebudayaannya, berkembang dan beranak pinak untuk kemudian menyebar ke seluruh Lampung dan sejumlah daerah. Karena kerajaan Sekala Beghak lama (animisme/dinamisme) telah dikalahkan dan dikuasai sepenuhnya oleh keempat Umpu keturunan Ratu Ngegalang Paksi, maka kemudian adat-istiadat dan kebudayaan yang berkembang dan dipertahankan hingga kini merupakan peninggalan Kerajaan Sekala Beghak Islam.
Dalam tambo-tambo dan wewarah, “Empat Umpu” (Umpu Bejalan Diway; Umpu Belunguh; Umpu Nyekhupa, dan Umpu Pernong) banyak disebut memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat adat Sai Batin, Paksi Pak Sekala Beghak. Pada periode selanjutnya, penyebaran orang-orang Sekala Beghak ini dapat dirunut dari kisah-kisah tentang kepergian mereka melalui sungai-sungai. Bahkan, sebagian orang-orang Komering pun mengaku sebagai keturunan Sekala Beghak. Mereka diperkirakan keturunan Pasukan Margasana yang dikirim Kerajaan Sekala Beghak ke Komering untuk menghadang serangan sisa-sia prajurit Kerajaan Sriwijaya yang telah runtuh sebelumnya. Seperti halnya keberadaan Suku Ranau sekarang, diakui juga berasal dari Sekala Beghak, Lampung Barat. Di sekitar Danau Ranau di Banding Agung, Ogan Komering Ulu itu semula dihuni Suku Abung yang setelah kedatangan orang-orang Sekala Beghak pada abad ke-15 mereka pindah ke Lampung Tengah.
 
Perjuangan dan usaha masyarakat Lampung Baratuntuk menjadi kabupaten sebenarnya telah dimulai jauh sebelum tahun 1991. Hal ini dapat kita cermati dari catatan-catatan penting baik yang ada pada tokoh-tokoh masyarakat maupun yang ada pada pemerintah daerah tingkat II Lampung Utara.
Perjuangan dimaksud dimulai pada bulan januari 1967, dimana melalui Musyawarah Besar Keluarga Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa Lampung Baratse-Indonesia serta didukung oleh semua komponen Masyarakat Lampung Baratyang diselenggarakan di Krui, terbentuklah Panitia Nasional dan Panitia Eksekutif yang beralamat di JL Pramuka No 91 Krui.
Panitia nasional tersebut di ketuai oleh Safe’i A. Ronie S.H. dan Sekretarisnya Chotman Bin Jauhari dari unsur Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Lampung BaratYogyakarta. Sedangkan  Panitia  Eksekutif  di ketuai  oleh A. Munir Rozali dari Krui dan Sekretarisnya Adnan Hasan Kepala SMPN Krui, kepanitiaan tersebut terdiri dari Pelindung dan Penasehat yang masing-masing Tjatur Tunggal Lampung Barat sebagai pelindung A. Jahja Murod S.H. sebagai Penasehat.
Musyawarah Besar tersebut dilaksanakan dari tanggal 01 s/d 06 Februari 1967 diKrui. Pada mubes tersebut dapat dijelaskan bahwa ada 4 bidang utama yang dibahas antara lain :
v     Bidang Pertanahan
v     Bidang Pendidikan, Kebudayaan, Agama dan Kesehatan
v     Bidang Sosial dan Ekonomi
v     Bidang Organisasi
Dengan telah selesainya Musyawarah Besar pada tanggal 06 februari 1967, maka dihasilkan 9 Resolusi, sembilan resolusi tersebut dirumuskan oleh Presedium Musyawarah Besar Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa serta masyarakat Lampung Baratyang berjumlah 9 orang dengan ketuanya Drs. K. Satia Nazori dan Sekretarisnya adalah M. Wardi Sarbini.
Menanggapi resolusi tersebut, DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Utara menyutujui untuk memberikan dukungan moril dan minta perhatian Pemerintah Daerah Tingkat I Lampung terhadap Resolusi Presedium Musyawarah nomor: 01/res/1967 yang menuntut diangkatnya Ex Kewedanan Krui menjadi Daerah Tingkat II.
Dukungan DPRD Tingkat II Lampung Utara tersebut berdasarkan Sidang Pleno ke 1 Tahun 1967 dalam rapat ke 2 tanggal 16 april 1967 dan ditandatangani oleh Ketua Dewan yaitu Syamsudin Wirapraja. Lebih lanjut rapat dijelaskan bahwa apa yang telah diperjuangkan oleh KPM dan masyarakat Lampung Barattelah menjadi dasar pertimbangan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lampung Utara sebagai sumbang sarannya kepada Pemerintah Tingkat I Lampung.
Perkembangan selajutnya sebagaimana kita ketahui bahwa tanggal 16 juli 1991 Rancangan Undang Undang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Baratmulai dibahas di DPR RI selama kurang lebih satu setengah bulan, maka pada tanggal 20 juli 1991 rancangan undang-undang tersebut dapat disetujui serta disusul dengan dikeluarkannya Instruksi Mendagri Nomor 17 Tahun 1991 tentang Juklak Undang Undang Nomor 6 Tahun 1991 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Lampung Barat.
Sebelum lahirnya Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat, berdasarkan undang-undang tersebut Lampung Baratmerupakan pembantu bupati Lampung Utara wilayah Liwa yang beribu kota di Liwa. Dari tahun 1979 sampai dengan lahirnya Undang Undang Pembentukan Daerah Tingkat II Lampung Baratperjuangan KPM dan Masyarakat Lampung Barattetap berlanjut tetapi tidak lagi melalui rapat-rapat untuk mengeluarkan resolusi melainkan penekanannya pada pendekatan person dan mengekspose potensi dan kondisi wilayah Lampung Baratmelalui surat-surat dan media massa yang ditujukan kepada pejabat yang berwenang untuk maksud tersebut.
Perjuangan dan usaha yang tidak mengenal lelah tersebut menumbuhkan rasa simpati Ketua DPRD Tingkat I Lampung yaitu Hi. Ali Mudin Umar S.H.  dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat  I  Lampung  Pujono  Pranyoto  untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat Lampung Baratdi tingkat pusat. Hi. Ali Mudin Umar S.H. bersama-sama partnernya Pujono  Pranyoto adalah tokoh yang menjadi kunci lahirnya Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Baratkarena lewat perjuangan beliau berdua Pemerintah Pusat mempersiapkan Rancangan Undang Undang Tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Baratdan kepada jajaran beliau kebawah dipacu untuk mempersiapkan semua persyaratan sarana dan prasaranan yang diperlukan bagi terwujudnya Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat.
Persyaratan utama yang saat itu akan menjadi kendala adalah pendanaannya maka untuk itu Gubernur Kepala Daerah Tingkat  I  Lampung  menyatakan siap untuk membiayai Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Baratselama 3 tahun pertama sebagai modal pangkal bagi pertumbuhan dan pembangunan Lampung Barat. Awal perputarannya roda pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Baratdimulai dan ditandai dengan peresmian pada tanggal 24 september 1991 oleh Menteri Dalam Negeri Rudini bersamaan dengan itu pula dilantik Pejabat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lampung Barat yang pertama yaitu  Hakim Saleh Umpu Singa
Bupati yang pertama ini memang belum melalui pemilihan karena DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Baratbelum terbentuk, namun peran fungsi dan wewenang serta kedudukannya tetap sama dengan Kepala Daerah Tingkat II lainnya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pada tanggal 16 februari 1992 Lembaga DPRD antar waktu terbentuk dengan jumlah anggota 32 orang, jumlah ini berdasarkan hasil pertimbangan suara yang diperoleh masing-masing kontestan pada Pemilu 1987. Sebagaimana amanat undang-undang Nomor 5 tahun 1974 Junto Permendagri Nomor 10 Tahun 1974 DPRD dibebankan tugas untuk memilih Kepala Daerah yang benar-benar merupakan pencerminan aspirasi masyarakat Lampung Barat, pemilihannya dilaksanakan pada tanggal 6 Juni 1992 dalam sidang paripurna khusus DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Baratdan hasilnya ternyata Letkol CHB Hakim Saleh Umpu Singa masih dipercaya untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lampung Baratselama masa bakti 1992-1997 dan dilantik pada tanggal 01 juli 1992 oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung atas nama Menteri Dalam Negeri.